Hukum

KERAWANAN TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PESTA DEMOKRASI PILKADA SERENTAK TAHUN 2020 | Riau Terdepan


TERDEPAN.id, PEKANBARU – Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011, partai politik harus memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Partai harus mampu memaksimalkan fungsinya baik itu terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.

Memasuki tahapan pilkada serentak 2020, partai politik wajib berkomitmen untuk tidak menetapkan dan menerima mahar calon kepala daerah yang akan maju di pencalonan. Pada hakikatnya partai politik harus mencari kader yang mumpuni dan berintegritas untuk dicalonkan secara demokratis dan terbuka. Hal ini menjadi penting agar dapat menekan angka korupsi bukan membuka celah korupsi.

Di samping itu masyarakat harus lebih berhati-hati dalam menggunakan hak pilihnya di pilkada 2020. Praktik politik uang pada masa kampanye sampai dengan masa tenang dan saat hari H pelaksanaannya merupakan hal yang selalu dicari peluangnya untuk dilakukan oleh calon kepala daerah untuk mendulang suara.

Masyarakat menilai bahwa salah satu penyebab korupsi selalu dialamatkan kepada suatu sistem pelayanan publik yang buruk dan mentalitas pejabat publik yang tidak baik. Kajian-kajian seperti ini menyangkut eksistensi sistem pemerintahan dan bentuk suatu negara. Kedua variabel tersebut bisa digunakan sebagai objek kajian penting untuk melihat korelasi etis dan teknis implikasi korupsi.

Banyak orang meragukan kualitas dan integritas bakal calon anggota kepala daerah yang kerap tersangkut perkara korupsi. Seolah-olah mereka tidak takut dengan konsekuensi hukuman yang akan dikenakan.

Dalam konteks ini patut dipertanyakan: pertama, apa korelasi antara sistem demokrasi dalam Pilkada Serentak dan implikasi korupsi; kemudian kedua, bagaimana upaya yang mesti dilakukan untuk mencegah implikasinya.

Menyikapi hal demikian, pertama, komitmen dan integritas menjadi poin penting yang perlu dijaga dengan baik oleh jajaran penyelenggara pemilu.

Sebuah bangsa baru dikatakan beradab jika bangsa itu mampu menjaga nilai etika, moral dan integritasnya (Ma’arif, 2019). Dalam hal ini, KPU juga berkewajiban untuk mengumumkan siapa kepala daerah yang punya rekam jejak tersangkut kasus korupsi, agar masyarakat mengetahuinya.

Kedua, apabila memang ternyata diindikasi terjadi adanya suap atau mahar dalam tahapan pencalonan dan Bawaslu kesulitan untuk pemenuhan syarat formil materil karena wewenangnya juga terbatas, maka temuan yang ada perlu dikaji lebih dalam oleh Tim Gakkumdu. Usut tuntas perkara yang menjadi cikal bakal korupsi sampai ke akar-akarnya.

Kejaksaan maupun Penyidik Polri mempunyai kewenangan untuk menindak dengan tegas sesuai aturan yang berlaku jika ditemukan indikasi terjadinya tindak pidana korupsi, siapapun itu tanpa pandang bulu. Jangan hanya unsur pemberi dan penerima saja yang ditindak, sementara orang yang mempunyai prakarsa dan menyuruh melakukan dilindungi, itu sama dengan mencederai rasa keadilan.

Ketiga, penguatan komitmen juga perlu dilakukan oleh partai politik. Maraknya kasus korupsi yang terjadi mengindikasikan komitmen pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh partai politik hanya sebatas retorika. Sikap koruptif di internal partai menjadi salah satu persoalan yang harus dibenahi. Diakui atau tidak bahwa kehadiran partai politik dalam suatu negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Proses demokrasi tidak mungkin eksis tanpa partai politik dan sistem kepartaian (Supriyanto, 2010).

 

Modus Operandi Korupsi dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak

Di Indonesia, tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga dapat dinilai melanggar hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Konsekuensinya, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Tindak pidana korupsi yang terjadi dalam berbagai lapisan masyarakat tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat (crime against welfare state). Berbagai modus operandi korupsi banyak sekali dilakukan oleh pengusaha untuk mempengaruhi para penguasa, di samping itu memang ada modus operandi yang klasik dilakukan para pejabat misalnya penggelapan dana masyarakat (embezzlement of public funds), namun yang melibatkan dua pihak biasanya adalah suap (bribery), perbuatan curang (fraud) dan penerimaan secara tidak sah (kickbacks).

Kegiatan semacam ini juga dilakukan oleh pihak swasta dan karena itu dapat dibedakan antara bureaucratic corruption dan private corruption. Apa yang menyamakan kedua jenis korupsi ini dan juga kejahatan ekonomi adalah bahwa para pelakunya adalah pemegang kuasa dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan (public power) maupun ‘kuasa ekonomi’ (economic power). Oleh karena ‘kuasa’ ini, pada dasarnya dipegang atau diperolehnya atas dasar kepercayaan masyarakat (public trust), maka penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) ini mempunyai dampak luas. Misalnya, kasus rekapitalisasi Bank Century, kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan, dan pemenangan tender fiktif dan mark up yang kini semakin marak di beberapa daerah menjelang Pilkada dan Pemilu legislatif. Hampir semua pelaku korupsi melibatkan banyak orang dengan tingkat jabatan dan kedudukan yang bertingkat-tingkat. Dalam konteks pemilu bisa berkedudukan sebagai petahana atau calon petahana.

Keterlibatan pihak swasta dalam tindak pidana korupsi sangat tinggi di Indonesia. Berdasarkan data yang ada, terjadinya inefisiensi dalam penggunaan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dari tahun ke tahun yang digunakan untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah ditengarai inefisiensi sebesar 20%. Inefisiensi terjadi antara lain dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan modus operandi 94% penunjukkan langsung dan sisanya 6% dengan penggelembungan harga (mark up). Jika dicermati trend ini akan meningkat menyongsong tahun politik.

Ada beberapa sebab yang menimbulkan hal ini terjadi, antara lain adanya transaction of cost antara pengurus partai politik dan anggota partai serta konstituen. Permintaan mahar-mahar politik salah satunya, adanya politik uang (money politic) terhadap konstituen merupakan ‘kewajiban’ yang harus dilakukan bakal calon dan calon anggota legislatif dan kepala daerah.

 

Kerawanan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi dalam Pemilu dan Pilkada Langsung

Suatu kajian penting dalam ilmu hukum praktis yakni cost and benefit ratio atau terjemahan bebasnya rasio atas biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh. Pilkada serentak telah memberikan peluang siapa saja dapat mencalonkan diri menjadi pemimpin di daerah yang tahun ini menyelenggarakan pesta demokrasi Pilkada. Hampir semua terjadi bahwa batas-batas dan kriteria untuk menjadi pemimpin tidak selalu dapat dilampaui. Modal ilmu pengetahuan melalui kualifikasi pendidikan tertentu ada yang dimanipulasi dengan ijazah palsu, kemampuan finansial dan kehalalan harta yang dimiliki ‘abu-abu’, kemudian pengkaderan partai politik (karir politik) tidak jelas, kemampuan ilmu politik dan kepemimpinan kurang teruji dan terasah, terakhir jiwa Pancasila dan nasionalisme yang dimiliki tidak pernah diukur dan diuji.

Keadaan ini belum mampu menolak kekhawatiran kualitas kepemimpinan dan sikap toleran terhadap korupsi, sehingga selalu ada peluang kuota kepemimpinan diisi oleh orang-orang yang tidak kapabel, kompeten, jujur dan religius serta patriotik.

Perlu kajian mendalam dan transparan interdisipliner mengenai implikasi pilkada serentak untuk bukan sekedar mencari faktor-faktor turunan tetapi jalan keluar dari persoalan ini. Eforia mengenai pilkada serentak yang hampir 2 (dua) dasawarsa ini dapat dipastikan akan mencapai titik jenuh dan kontra produktif apabila tidak segera dibenahi sisi kelemahannya. Orang-orang akan menjadi golput dan a politic, sehingga tesis negara demokrasi akan menjadi antithesis negara despotic, yakni suatu negara yang diperintah oleh beberapa orang yang berpotensi otoriter.

Menghadapi Pilkada serentak para penegak hukum jangan sampai kehabisan energi untuk memberantas korupsi. Salah satu indikatornya adalah pemberitaan korupsi dan pembangunan menjadi tidak seimbang. Oleh karena itu, diperlukan inovasi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi ekstra konvensional.

Potensi kerawanan korupsi di masa Pilkada serentak juga rentan terjadi pada sumber-sumber keuangan daerah antara lain pada BPD maupun BUMD yang bisa dijadikan mesin uang untuk kepentingan politik jika salah satu kandidat yang mengikuti Pilkada serentak seorang petahana.

Tingginya biaya politik yang harus disiapkan calon dan posisi petahana sebagai pihak yang terkait dengan BPD atau suatu BUMD sebagai pemegang saham, tidak menutup kemungkinan BPD maupun BUMD tersebut akan dimintai kontribusi baik secara sukarela maupun dengan sedikit paksaan. Jika mayarakat melihat bahwa indikasi hal itu terjadi, maka masyarakat jangan ragu untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum.

Salah satu upaya yang diharapkan dapat membantu pencegahan korupsi dalam pilkada serentak adalah pendidikan anti korupsi massal dan masif kepada seluruh kader partai politik secara terus-menerus. Materi muatan pendidikan antikorupsi ini diberikan dalam bentuk lintas disiplin ilmu yakni agama, hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perlu adanya komitmen bersama anti korupsi.

Pembiayaan pendidikan ini harus dibebankan kepada masing-masing stakeholder, jadi tidak menjadi beban APBN dan APBD. Pendidikan antikorupsi swakelola dan swadaya yang diawasi oleh lembaga penegak hukum melalui tugas pencegahan korupsi sehingga memunculkan sinergi yang natural dan efektif. Pendidikan ini akan linier dengan pendidikan antikorupsi yang saat ini sudah masuk ke dalam kurikulum perguruan tinggi di Indonesia.

Sikap antikorupsi dan sensitivitas terhadap gerak-gerik dan perilaku korupsi terhadap kekhawatiran bahaya laten (tersembunyi) korupsi harus sama cara pandang dan kewaspadaannya dengan bahaya laten yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semua upaya tersebut di atas akan bersinergi dengan berbagai langkah yang dilakukan penegak hukum, khususnya Kejaksaan RI dalam pencegahan korupsi antara lain menjadi nara sumber yang membekali para kader-kader partai politik baik melalui kegiatan penyuluhan dan penerangan hukum maupun melalui Program Jaksa Menyapa yang mengudara di setiap RRI yang ada di setiap daerah di seluruh Indonesia, Jaksa Masuk Sekolah, Jaksa Masuk Kampus, dan Jaksa Mengawal Penggunaan Dana Desa.

Dan hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah para kader dari semua partai politik yang menjadi kontestan dalam pesta demokrasi Pilkada Serentak wajib memiliki semangat antikorupsi.

Akhirnya marilah kita jadikan momentum hari antikorupsi internasional yang diperingati setiap tanggal 9 Desember yang tahun ini bertepatan dengan pelaksanaan Pilkada Serentak dijadikan sebagai tonggak awal kebangkitan generasi Indonesia antikorupsi.
Katakan TIDAK UNTUK KORUPSI dan jadilah yang terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Mari kita BERANTAS KORUPSI. Kalau bukan kita, siapa lagi! Kalau bukan sekarang, kapan lagi!

Jangan gadaikan masa depan daerah hanya untuk kesenangan sesaat dengan menerima imbalan antara lain menerima serangan fajar.

Dengan semangat antikorupsi, saya mengajak kepada kita semua untuk menjaga Pilkada 2020 ditengah pandemi COVID-19, agar tidak dikotori oleh praktik-praktik korupsi. Dimulai dari diri sendiri, gelorakan semangat anti korupsi, jaga diri dengan menerapkan pola hidup sehat dan selalu mematuhi Protokol Kesehatan : jaga jarak, gunakan masker, selalu cuci tangan dan bawa selalu hand sanitizer. Insya Allah dapat mengindari kita terpapar virus corona dalam pelaksanaan pilkada serentak di massa pandemi corona. Pilkada 2020 yang bersih, bebas korupsi adalah bukti sehatnya berdemokrasi di Indonesia

 

Penulis : Dr Mia Amiati SH MH (Praktisi hukum yang menduduki jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau)





Source link

Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

portal berita yang lahir dari semangat pentingnya ketersebaran informasi hingga ke pelosok nusantara.

Copyright © 2020 TERDEPAN.ID

Ke Atas